Sebelum mengawali pendapat tentang kebijaksanaan, beberapa pertanyaan sempat terbesit dalam benak saya. Yang pertama, apakah kita tau seperti apa diri kita selama ini? Kedua, apakah kita sudah melakukan hal-hal yang bijak? Berpikir bijaklah minimal. Ehem, kali ini saya ingin mengemas sebuah wacana menggunakan bahasa yang sedikit liar, mengabaikan apa itu kaidah bahasa, saya hanya ingin menulis dan memberikan suatu mainsetting tentang kebijaksanaan, itu saja. Tanpa batas ruang dan aturan, tapi tenang masih dalam koridor kok, Hehehe
Okey, untuk pemanasan mari kita telisik apa itu kebijaksanaan... menurut para ilmuan, katanya, kebijaksanaan itu salah satu sifat yang diinginkan banyak orang, dari tua, muda, miskin, kaya, besar kecil, bahkan orang jahat sekalipun juga ingin bijak lho. Kalau saya boleh berkata, kebijaksanaan itu adalah skala penentu dewasa dan tidaknya seseorang. Benar tidak? Karena itulah semua orang ingin menjadi bijaksana.
Dalam dunia praktisnya, sifat bijaksana memang banyak dimiliki oleh beliau-beliau yang sudah matang secara nalar dan identik dengan kematangan umur pula. Namun sebetulnya kebijaksanaan bisa digali tanpa harus menunggu tua dahulu. Okelah, semakin tua semakin banyak garam kehidupan yang dicicipi, akan tetapi kita yang masih muda bukan berarti tidak boleh mempelajarinya.
Coba kita renungkan, jika semua orang di dunia ini mempunyai 50% sifat bijaksana dalam dirinya, 50% saja. Pasti akan damai rasanya. Menyikapi masalah dengan bijaksana. Dibilang sulit, memang. Namun tak ada yang tak mungkin bagi diri kita, bagi sebuah perubahan. dan tak ada salahnya saya bermimpi untuk itu, karena tidak ada hukum benar salah dalam alam bawah sadar.
Lalu, bagaimana menjadi bijaksana? Agar dunia ini indah? Agar dunia ini damai? Yang harus dilakuakan pertama kali adalah menjauhi musuh dari kebijaksanaan, yaitu emosi. Setiap orang punya potensi juga untuk menjadi emosional, mungkin sekalanya malah lebih besar dari potensi kebijaksanaan yang dimiliki. Untuk itu kita harus mengalahkan musuh ini, dengan apa? Dengan kemauan, dengan niat untuk memusnahkannya, atau paling tidak mengontrolnya. Jika emosi seseorang terlalu meluap, maka habislah potensi kebijaksanaan yang dia punyai. Emosi digerakkan oleh rasa, untuk itu kita lawan pula dengan kemauan yang benar-benar dari hati.
Selain mengenyahkan musuhnya, kita bisa melatih dan membiasakan diri. Dengan cara mengasah pikiran, mengasah logika untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan logis saat menghadapi suatu masalah, tujuan besar dari pembiasaan ini adalah untuk memanage emosi .
Strategi selanjutnya adalah menjadi tipe orang yang cenderung (me-) ketimbang menjadi orang yang cenderung (di-), memahami ketimbang dipahami, memberi ketimbang diberi, menolong ketimbang ditolong, mulai paham kan maksutnya? Okey, dengan menjadi orang seperti itu kita akan mempelajari banyak hal, mempelajari arti sebuah pengorbanan. Dan itu penting, untuk apa? Membiasakan hati kita menjadi hati yang lapang. Mengajarkan bahwa hidup itu adalah perjuangan, salah satu perjuangan itu adalah pengorbanan. Hal ini sekedar untuk membuat hidup kita aktif.
Polesan terakhir adalah menumbuhkan rasa ikhlas, ikhlas lahir batin dalam hidup. Gampang-gampang sulit memang, tapi apa salahnya kita mencoba. Bukankah kita dilahirkan memang untuk belajar, bukan sekedar makan dan menuntut apa saja yang kita inginkan, bukan untuk terus-menerus terperuk dan pasrah. Pasrah dengan badself yang kita punyai, pasrah dengan apa adanya diri kita, saya rasa bukan seperti itu. Tuhan memberi kita hidup, adalah memberi kita amanah untuk berproses, untuk berpulang dalam keadaan baik, dunia adalah lahan pembelajaran yang teramat sangat luas, dan kita harus berproses di dalamnya. Maka dari itu, ketika kita ikhlas menjalani, maka agenda besar itu tak akan berat.
Sebuah kebijaksanaan tidak sulit untuk direngkuh, asal kita mau, dan tidak menunggu kemauan itu untuk datang. Terlalu lama. Kita harus menjemputnya, merengkuhnya dalam diri kita. Semua memang butuh proses, dan proses butuh waktu. Tetapi selama waktu itu berlalu, apakah kita hanya diam dan menunggu sampai waktu kita habis? Kita harus melakukan sesuatu, mulai dari sekarang. Awali dari diri kita masing-masing untuk membudayakan kebijaksanaan. Dengan berpikir dan bersikap bijaksana, hidup kita akan seimbang, kita kan mampu memandang suatu hal secara kompleks, tidak hanya dari satu sisi saja, dan percayalah hal itu penting bagi hidup kita. Ayah saya, pernah berkata demikian “manusia memang tidak ada yang sempurna, tapi tak sedikit manusia yang menginginkan kesempurnaan dan untuk mengusahakan itu, tidak ada salahnya. Kita bisa menjadi lebih baik dengan tetap menjadi diri kita sendiri, dan proseslah yang akan membuktikannya. Seperti apa proses itu, tergantung jalan apa yang kau pilih untuk mendapatkannya, jalan yang baik atau sebaliknya”. Kata-kata itulah yang selalu mejadi semangat untuk diri saya. Saya tidak bermaksud menggurui, menceramahi atau mendakwahi, Saya hanya ingin berdamai dan berbagi. Semoga berguna yaa.
Sebuah Catatan, WidaSetyoPurnomo
Saat melihat berbagai perlombaan untuk anak yang marak saat ini, hati terasa bangga sekaligus miris. Bangga karena ajang pengembangan bakat mudah sekali ditemukan sehingga anak bisa mengembangkat bakatnya. Namun juga miris karena fair play menjadi barang langka disana.
Demi meraih gelar juara, tak jarang para orang tua, menggunakan cara yang keliru. Ada yang pura-pura memberi minum, mengantar perlengkapan, dan cara-cara lain agar bisa membantu anaknya. Panitia pun kurang tegas memberi peringatan sehingga barikade pun dengan mudah diterobos. Belum lagi soal uang. Beberapa orang tua berani merogoh kocek dalam-dalam untuk menyogok panitia agar kejuaraan jatuh ke tangan anaknya. Semua hal mau dilakukan demi sebuah kemenangan. Kalau begini, buat apa lomba itu diadakan? Padahal semuanya bisa “dibeli” dengan rupiah.
Kalau kita melihat kembali esensi sebuah lomba, Fair playlah kuncinya. Perlombaan adalah ajang untuk melatih kemampuan anak sekaligus menanamkan kejujuran dalam mencapai kemenangan. Anak akan menunjukkan bakatnya di depan juri dan mendapatkan penilaian sebagai tolak ukur atas kemampuannya. Penilaian inilah yang akan dibandingkan dengan anak-anak yang lain untuk mendapatkan peringkat atas prestasinya.
Kemampuan anak harus murni diukur dari dirinya sendiri. Bantuan dari orang lain hanya akan mengacaukan penilaian atas potensinya sehingga tak bisa terukur dengan sempurna. Hasilnya, kekurangan dalam dirinya tak bisa diketahui. Kalau sudah begini, potensi anak tidak bisa dikembangkan ke arah yang lebih baik lagi. Belum lagi pengaruh pada mentalnya. Anak akan terlatih untuk bersikap tidak jujur. Sikap malas berusaha pun akan muncul dengan sendirinya. Mereka akan berasumsi buat apa susah-susah berusaha jika kemenangan itu bisa diperoleh dengan cara “membeli”?
Sudah saatnya orang tua mulai menata kembali ambisinya. Memang perlu melibatkan diri dalam mengembangkan potensi anak. Namun, bukan dengan cara-cara seperti itu. Orang tua tidak boleh mengabaikan kejujuran.Anak harus ditanamkan untuk meraih meraih kemenangan dengan kemampuannya sendiri. Oang tuapun harus lapang dada untuk menerima apapun hasilnya. Memang berat menerima keputusan saat anak yang dibanggakan tidak menjadi yang terbaik. Namun, sebagai orang yang lebih dewasa, orang tua harus mengambil sikap lapang dada sekaligus membesarkan hati anak. Saat itu, anak juga pasti merasakan pahitnya sebuah kegagalan. Jadi, dukungan yang diberikan untuknya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Orang tua harus menumbuhkan kepercayaan diri anak sekaligus mendorongnya untuk memperbaiki kekurangannya.
Menjalankan peran sebagai orang tua bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan terkait sikap yang akan diambil untuk anak. Namun, ada satu hal yang terpenting tentang sikap tersebut. Yaitu tetaplah menjadikan anak sosok yang memiliki moral yang baik. Itulah kunci utama untuk membuat masa depan anak yang lebih baik.
Proville
- Kacamata Mahasiswa
- berusahalah memandang sesuatu melalui kacamata mahasiswa,,