Saat melihat berbagai perlombaan untuk anak yang marak saat ini, hati terasa bangga sekaligus miris. Bangga karena ajang pengembangan bakat mudah sekali ditemukan sehingga anak bisa mengembangkat bakatnya. Namun juga miris karena fair play menjadi barang langka disana.
Demi meraih gelar juara, tak jarang para orang tua, menggunakan cara yang keliru. Ada yang pura-pura memberi minum, mengantar perlengkapan, dan cara-cara lain agar bisa membantu anaknya. Panitia pun kurang tegas memberi peringatan sehingga barikade pun dengan mudah diterobos. Belum lagi soal uang. Beberapa orang tua berani merogoh kocek dalam-dalam untuk menyogok panitia agar kejuaraan jatuh ke tangan anaknya. Semua hal mau dilakukan demi sebuah kemenangan. Kalau begini, buat apa lomba itu diadakan? Padahal semuanya bisa “dibeli” dengan rupiah.
Kalau kita melihat kembali esensi sebuah lomba, Fair playlah kuncinya. Perlombaan adalah ajang untuk melatih kemampuan anak sekaligus menanamkan kejujuran dalam mencapai kemenangan. Anak akan menunjukkan bakatnya di depan juri dan mendapatkan penilaian sebagai tolak ukur atas kemampuannya. Penilaian inilah yang akan dibandingkan dengan anak-anak yang lain untuk mendapatkan peringkat atas prestasinya.
Kemampuan anak harus murni diukur dari dirinya sendiri. Bantuan dari orang lain hanya akan mengacaukan penilaian atas potensinya sehingga tak bisa terukur dengan sempurna. Hasilnya, kekurangan dalam dirinya tak bisa diketahui. Kalau sudah begini, potensi anak tidak bisa dikembangkan ke arah yang lebih baik lagi. Belum lagi pengaruh pada mentalnya. Anak akan terlatih untuk bersikap tidak jujur. Sikap malas berusaha pun akan muncul dengan sendirinya. Mereka akan berasumsi buat apa susah-susah berusaha jika kemenangan itu bisa diperoleh dengan cara “membeli”?
Sudah saatnya orang tua mulai menata kembali ambisinya. Memang perlu melibatkan diri dalam mengembangkan potensi anak. Namun, bukan dengan cara-cara seperti itu. Orang tua tidak boleh mengabaikan kejujuran.Anak harus ditanamkan untuk meraih meraih kemenangan dengan kemampuannya sendiri. Oang tuapun harus lapang dada untuk menerima apapun hasilnya. Memang berat menerima keputusan saat anak yang dibanggakan tidak menjadi yang terbaik. Namun, sebagai orang yang lebih dewasa, orang tua harus mengambil sikap lapang dada sekaligus membesarkan hati anak. Saat itu, anak juga pasti merasakan pahitnya sebuah kegagalan. Jadi, dukungan yang diberikan untuknya menjadi sesuatu yang sangat berharga. Orang tua harus menumbuhkan kepercayaan diri anak sekaligus mendorongnya untuk memperbaiki kekurangannya.
Menjalankan peran sebagai orang tua bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan terkait sikap yang akan diambil untuk anak. Namun, ada satu hal yang terpenting tentang sikap tersebut. Yaitu tetaplah menjadikan anak sosok yang memiliki moral yang baik. Itulah kunci utama untuk membuat masa depan anak yang lebih baik.
This entry was posted
on 17 Apr 2011
at 12.11
and is filed under
Sosial
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.
Proville
- Kacamata Mahasiswa
- berusahalah memandang sesuatu melalui kacamata mahasiswa,,